ahoffmann1_DrAfter123Getty Images_sustainabilitycity DrAfter123/Getty Images

Bumi Setelah Pandemi

BASEL – Tidak ada keraguan di antara para ilmuwan: perusakan alam menjadikan manusia semakin rentan terhadap wabah penyakit seperti pandemi COVID-19, yang membuat jutaan orang jatuh sakit, ratusan ribu orang meninggal, dan hancurnya penghidupan yang tidak terhitung jumlahnya di seluruh dunia. Pandemi ini juga akan menghambat pemulihan perekonomian jangka panjang, karena lebih dari separuh PDB dunia bergantung pada alam. Apakah krisis COVID-19 bisa menjadi peringatan – dan menjadi sebuah kesempatan – yang kita perlukan untuk mengubah kondisi saat ini?            

Meskipun beberapa politisi mengklaim bahwa pandemi dengan skala seperti ini tidak bisa diperkirakan sebelumnya, banyak pakar yang percaya bahwa hal ini sebenarnya bisa dihindari, mengingat adanya peningkatan penyakit zoonosis (penyakit yang disebabkan oleh patogen yang berpindah dari hewan ke manusia). Lebih dari 60% penyakit menular baru berasal dari hewan.

Tren ini terkait langsung dengan aktivitas manusia. Mulai dari pertanian intensif dan penggundulan hutan hingga pertambangan dan eksploitasi hewan liar, praktik-praktik destruktif yang kita anggap sebagai “hal yang normal” menempatkan kita semakin dekat dengan hewan, sehingga menciptakan keadaan ideal untuk perpindahan penyakit dari hewan ke manusia. Dan dalam hal ini, Ebola, HIV, sindrom pernapasan akut berat (SARS), dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) – yang semuanya terjadi secara zoonosis – adalah peringatan yang diabaikan oleh dunia.  

Tapi COVID-19 mungkin berbeda. Virus ini menunjukkan dengan lebih jelas dibandingkan virus-virus sebelumnya, betapa terkaitnya kesehatan dan kemakmuran manusia dengan kesejahteraan bumi – dan betapa keterkaitan ini menjadikan kita berada dalam posisi yang rentan. Klaim bahwa melindungi lingkungan akan menghancurkan perekonomian bukan hanya sebuah pemikiran pendek, tapi juga merugikan. Kerusakan lingkunganlah yang telah menghentikan perekonomian dunia.

Selain itu, berbeda dengan wabah penyakit lain yang terjadi beberapa tahun terakhir, COVID-19 mendorong intervensi negara yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan pemerintah di seluruh dunia mengembangkan dan menerapkan strategi pemulihan yang komprehensif. Hal ini memberikan sebuah peluang emas untuk memasukkan perlindungan dan pemulihan lingkungan dalam sistem perekonomian kita.

Dua prinsip harus menjadi dasar dalam pembuatan strategi pemulihan. Pertama, stimulus saja tidak cukup; peraturan lingkungan yang lebih baik, yang dibuat berdasarkan partisipasi aktif dari dunia usaha dan investor juga sangat penting. Kedua, belanja negara harus dialokasikan dengan cara yang mendukung keseimbangan yang lebih baik antara kesehatan masyarakat, perekonomian dan lingkungan. Hal ini berarti melakukan investasi pada industri yang ramah lingkungan, khususnya industri yang membawa kita lebih dekat pada perekonomian sirkular. 

BLACK FRIDAY SALE: Subscribe for as little as $34.99
BF2024-Onsite-1333x1000

BLACK FRIDAY SALE: Subscribe for as little as $34.99

Subscribe now to gain access to insights and analyses from the world’s leading thinkers – starting at just $34.99 for your first year.

Subscribe Now

Para ekonom terkenal seperti pemenang penghargaan Nobel Joseph Stiglitz dan Nicholas Stern telah menyimpulkan bahwa paket pemulihan ekonomi yang ramah lingkungan memberikan hasil yang lebih baik, lapangan kerja yang lebih luas dalam jangka pendek, dan penghematan biaya yang jauh lebih besar dalam jangka panjang dibandingkan dengan paket stimulus fiskal tradisional. Misalnya, membangun infrastruktur yang ramah lingkungan – khususnya aktivitas yang padat karya – akan menghasilkan dua kali lebih banyak lapangan kerja per dolar dibandingkan investasi pada bahan bakar fosil.

Prioritas lain yang mencakup investasi pada modal alam, seperti restorasi ekosistem hutan berskala besar. Hal ini akan memberikan banyak manfaat, mulai dari meningkatkan keanekaragaman hayati dan memitigasi banjir hingga menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Untuk melengkapi upaya-upaya tersebut, bank dan lembaga keuangan lainnya harus diminta bertanggung jawab atas pinjaman yang menyebabkan krisis lingkungan dan iklim.

Beberapa pengambil kebijakan menyadari pentingnya hal ini. Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengeluarkan panduan yang bersifat luas untuk pemulihan yang ramah lingkungan, dan Managing Director IMF Kristalina Georgieva telah menyerukan agar pemberian dana talangan bagi perusahaan swasta mencakup persyaratan yang ramah lingkungan. Pemerintah Perancis sudah menerapkan pendekatan tersebut. 

Selain itu, Uni Eropa (UE) sedang merancang rencana pemulihan COVID-19 yang ramah lingkungan yang akan melengkapi kesepakatan hijau Eropa, yang bertujuan untuk memulihkan keanekaragaman hayati dan mempercepat peralihan ke perekonomian tanpa karbon. Kelompok yang terdiri dari 180 politisi, perusahaan, serikat pekerja, kelompok kampanye, dan pusat studi Eropa baru-baru ini mengeluarkan surat yang mendesak para pemimpin UE untuk menerapkan langkah-langkah stimulus yang ramah lingkungan.

Tapi, untuk mencapai pemulihan global yang berkelanjutan, lebih banyak negara harus menerapkan kebijakan pemulihan yang ramah lingkungan. Dan, sejauh ini, banyak negara yang justru menerapkan hal yang sebaliknya, dengan mengerahkan sumber daya untuk industri dan aktivitas yang merusak lingkungan.

Misalnya, menurut penelitian yang melibatkan Stiglitz dan Stern, dana talangan tanpa syarat untuk maskapai penerbangan menghasilkan dampak terburuk sehubungan dengan dampak perekonomian, kecepatan, dan angka-angka yang berkaitan dengan iklim. Tapi, miliaran dana talangan, yang sering kali tanpa persyaratan, masih diberikan ke maskapai penerbangan. 

Faktanya, menurut laporan Indeks Stimulus Ramah Lingkungan baru-baru ini, lebih dari seperempat belanja stimulus yang sejauh ini diterapkan di 16 negara maju kemungkinan akan menyebabkan kerusakan lingkungan dalam skala besar dan jangka panjang. Beberapa negara, misalnya pemerintahan Presiden AS Donald Trump, juga telah melonggarkan peraturan lingkungan yang ada untuk membantu pemulihan perusahaan-perusahaan yang menghasilkan polusi yang sangat besar.

Pendekatan ini semakin sulit untuk dibenarkan. Kita harus ingat bahwa sebelum pandemi ini terjadi, banyak negara yang mengalami kebakaran hutan dan banjir dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Seiring dengan semakin buruknya perubahan iklim, cuaca ekstrem yang menyebabkan bencana-bencana tersebut akan menjadi lebih parah dan lebih sering terjadi.

Para politisi dan kelompok kepentingan mencoba untuk mengalihkan perhatian dari tantangan-tantangan yang akan terjadi di masa depan. Tapi hal ini tidak akan mencegah krisis yang terjadi di masa depan; bahkan hal ini juga tidak akan menunda krisis yang akan datang sampai pemulihan COVID-19 selesai. Sebaliknya, kembali ke keadaan normal akan mempercepat datangnya bencana tersebut.        

Daripada terus berjuang menghadapi satu krisis ke krisis berikutnya, kita harus membangun sistem yang lebih kuat mulai dari sekarang. Menempatkan pelestarian dan pemulihan lingkungan sebagai yang utama dalam pemulihan krisis COVID-19 adalah sebuah awal yang baik.                          

https://prosyn.org/fbFa5uPid