mueller26_Mario TamaGetty Images_democrats us protest Mario Tama/Getty Images

Partai Demokrat Harus Melawan dengan Keras

BERLIN – Di seluruh dunia, kelompok populis sayap kanan mengobrak-abrik demokrasi dan supremasi hukum. Tapi berbeda dengan banyak diktator pada abad kedua puluh, mereka yang ingin menjadi pemimpin otoriter mencoba mempertahankan ilusi institusi yang mereka hancurkan, sehingga menciptakan dilema bagi partai oposisi. Apakah oposisi harus menaati peraturan yang tidak memihak mereka, atau haruskah mereka membuat peraturan mereka sendiri dan berisiko dituduh menjadi penggali kubur demokrasi liberal yang sebenarnya?

Norma umum yang berlaku menyatakan bahwa pelanggaran terhadap norma-norma tersebut akan mempercepat kehancuran demokrasi. Tapi, berpaham keras pada konstitusi itu wajar dalam keadaan-keadaan tertentu. Saat para legalis otokratis menggunakan hukum secara harfiah untuk melanggar semangat dari lembaga-lembaga demokratis, lawan mereka harus melakukan hal yang sebaliknya.

Banyak negara yang dikuasai politisi populis – seperti Hongaria dan Polandia – tidak punya oposisi yang bersatu, dan partai-partai bisa mengusulkan berbagai kebijakan sebagai alternatif dari kebijakan yang diusulkan pemerintah (tidak semua hal yang dilakukan rezim populis sayap kanan itu otoriter). Tapi, saat prinsip-prinsip politik dasar sedang dipertaruhkan, oposisi mutlak harus bersatu dan memberi sinyal yang jelas kepada masyarakat bahwa keadaan yang sedang terjadi sudah bukan lagi pertentangan politik biasa.

Di Amerika Serikat (AS), usaha Partai Republik untuk menghapus Undang-Undang Perlindungan Pasien dan Layanan yang Terjangkau (Obamacare) adalah tindakan yang kejam dan serampangan, tapi usaha itu sudah berlangsung sejak sebelum Donald Trump menjadi presiden, dan keberhasilan usaha tersebut tidak akan menjadi pertanda berakhirnya demokrasi di AS. Tapi, penolakan yang tidak tahu malu dari pemerintahan Trump terhadap pengawasan parlemen bukan lagi masalah “politik biasa,” tapi merupakan serangan terhadap apa yang disebut filsuf John Rawl dengan “inti sari konstitusi.”

Pastinya, membedakan antara pertentangan kebijakan yang biasa dan ancaman terhadap sistem cenderung merupakan seni, bukan sebuah ilmu pasti. Jika hal tersebut dilakukan dengan meyakinkan, maka hal tersebut bisa menghentikan penyebaran kesinisan para pemilih. Tapi, strategi ini berasumsi bahwa warganegara bisa dibujuk dengan argumen mengenai komitmen konstitusional yang harus dipegang semua orang yang mendukung demokrasi.

Asumsi itu berbahaya karena pluralisme media masa sudah sangat berkurang di banyak negara. Sekarang, di bawah Perdana Menteri Hongaria Viktor Orbán dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan, serangan terhadap stasiun televisi dan koran yang independen adalah hal yang umum. Dan di AS, para pemilih Partai Republik sudah menyelimuti diri mereka dengan lingkungan media yang didominasi Fox News dan saluran propaganda sayap kanan lainnya.

Introductory Offer: Save 30% on PS Digital
PS_Digital_1333x1000_Intro-Offer1

Introductory Offer: Save 30% on PS Digital

Access every new PS commentary, our entire On Point suite of subscriber-exclusive content – including Longer Reads, Insider Interviews, Big Picture/Big Question, and Say More – and the full PS archive.

Subscribe Now

Namun, bahkan jika semua pemilih menerima informasi yang akurat, beberapa pemilih akan tetap cenderung mengedepankan paham kepartaian di atas perlindungan terhadap sistem demokrasi liberal. Salah satu temuan yang paling menyedihkan dalam ilmu politik beberapa tahun terakhir adalah masyarakat sering mengutamakan paham kepartaian bahkan saat mereka mengakui bahwa populisme sayap kanan itu berbahaya terhadap demokrasi. Dengan kata lain, mereka siap dan bersedia menggadaikan demokrasi itu sendiri untuk memuaskan kebijakan pribadi atau preferensi ideologis.

Sinisme seperti itu bukanlah alasan bagi partai-partai oposisi untuk menyerah dalam mengetuk nurani para pemilih. Tapi hal tersebut memang memerlukan pengakuan dari pihak oposisi bahwa audiens mereka bukan hanya terdiri dari para pemilih yang berpotensi diyakinkan, tapi juga para populis sayap kanan dan sekutu oportunisnya. Dalam mengatasi kelompok populis sayap kanan dan sekutu oportunisnya, tujuan usaha oposisi bukanlah membuat orang-orang yang tidak tahu malu menjadi punya rasa malu, tapi untuk melawan api dengan api.

Misalnya di AS, Partai Republik sudah mendapatkan keuntungan dari keadaan yang jelas asimetris. Mereka bersedia melakukan apa pun untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, sedangkan Partai Demokrat tetap berkomitmen pada semangat yang melandasi peraturan yang ada, bahkan tetap berharap akan terjadinya kerja sama antar partai. Tapi jika Partai Republik berpikir bahwa partai Demokrat juga mau menggeser batas-batas kepantasan, Partai Republik mungkin akan mengubah perhitungan politiknya.

Misalnya saja dilema yang sekarang dihadapi Partai Demokrat setelah meninggalnya Hakim Mahkamah Agung AS Ruth Bader Ginsburg. Dalam upayanya untuk memburu-buru pengangkatan hakim baru untuk mengisi kursi hakim tersebut dengan calon yang sangat konservatif, para senator dari Partai Republik bahkan tidak berpura-pura menjaga konsistensi dengan pendapat mereka pada tahun 2016, saat mereka dengan gamblang menolak mempertimbangkan calon hakim Mahkamah Agung Merrick Garlan yang diajukan Presiden Barrack Obama, dengan alasan bahwa pemilihan presiden sudah dekat.

Partai Demokrat harus menyadari bahwa Partai Republik yang ada saat ini bukan hanya anti Partai Demokrat, tapi juga anti demokrasi. Partai Republik sudah berjanji setia pada pemimpin otoriter dan tidak lagi tertarik memecahkan masalah yang benar-benar ada – bahkan mereka tidak mengajukan program dalam Konvensi Nasional Partai Republik pada tahun ini. Dengan kebijakan ekonomi yang sangat tidak populer karena mengutamakan kelompok kaya dan ketergantungan mereka pada kekesalan orang-orang kulit putih, Partai Republik sudah berkomitmen secara penuh menjadi partai minoritas, makanya mereka berusaha menguasai lembaga-lembaga yang tidak perlu dipilih oleh mayoritas warganegara seperti Senat (yang memberi kekuasaan yang sangat besar bagi para pemilih di wilayah pedesaan) dan pengadilan. Mereka juga tidak malu-malu melakukan penindasan pemilih untuk menyulitkan orang-orang non-kulit putih memilih di pemilu.

Jika Partai Demokrat mau memaksa Partai Republik untuk mengubah perilaku, mereka harus melawan semua pelanggaran norma ini dengan keras. Jika Partai Republik memaksa mengangkat Hakim Mahkamah Agung yang baru dalam beberapa minggu mendatang, Partai Demokrat harus menghentikan kegiatan Senat dengan menolak semua permintaan unanimous consent request (izin yang memerlukan kesepakatan semua anggota) rutin; mereka juga harus membuat rencana yang baik untuk memperbesar jumlah hakim Mahkamah Agung saat mereka kembali berkuasa. 

Apakah taktik-taktik keras ini akan memperlebar polarisasi politik AS dan memicu semakin maraknya pelanggaran norma? Polarisasi sudah sangat buruk sehingga sulit untuk diperlebar lagi. Tapi yang lebih penting, tidak semua norma itu sama, atau bahkan benar-benar norma. Trump melanggar “norma” dengan tidak memiliki hewan piaraan (biasanya anjing) di Gedung Putih, tapi hal ini bukan merupakan masalah prinsip dasar demokrasi.

Sebaliknya, ada usulan-usulan Partai Demokrat untuk membuat Senat lebih mewakili rakyat dengan menghapuskan prosedur filibuster dan memberi status negara bagian kepada Puerto Rico dan Washington, DC. Langkah-langkah ini jelas sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dan sangat dapat dibenarkan dalam hal kesetaraan dan kemerdekaan, dan akan memperkuat perlindungan terhadap hak-hak memilih. Tentu saja, pendukung utama Trump, Pemimpin Mayoritas Senat Partai Republik Mitch McConnell, memandang bahwa usulan pro demokrasi itu adalah usaha perebutan kekuasaan partisan. Tapi hal ini karena dia tidak bisa berpikir dengan cara lain. Dia berkomitmen penuh mendukung tirani minoritas – keadaan yang jelas berusaha dicegah oleh para pendiri negara Amerika Serikat.

Ya, keputusan untuk melakukan perlawanan konstitusional yang keras tidak boleh dianggap enteng. Hal ini harus diambil ketika kepatuhan yang kuat pada norma-norma demi mendukung demokrasi justru menolong para musuh demokrasi.                                                    

https://prosyn.org/HNLazHWid