mueller25_PAUL RATJEAFP via Getty Images_trumpsupportersrally Paul Ratje/AFP via Getty Images

Partai-Partai Harus Terus Maju

BERLIN – Konvensi Nasional Partai Republik AS yang diselenggarakan baru-baru ini bermasalah dalam banyak hal – mulai dari penyalahgunaan Gedung Putih sebagai lokasi kampanye (pelanggaran terhadap Undang-Undang Hatch dan norma-norma yang selama ini ada) dan para pembicara yang berbohong tanpa rasa malu, hingga parade anggota keluarga Trump. Di tengah pertunjukan norak yang seakan-akan menjadikan Partai Republik sebagai anak perusahaan Trump Organization, ada satu aspek yang mencolok: partai tersebut tidak menawarkan platform kebijakan. Satu-satunya tujuan dari Partai Republik sepertinya adalah “mendukung agenda Amerika yang Utama dari Presiden Trump.”         

Dalam satu sisi, tidak menawarkan platform kebijakan bisa jadi merupakan sebuah strategi pintar untuk melindungi partai Republik dari Donald Trump. Kalau Trump kalah pada bulan November, para anggota Partai Republik bisa mencuci tangan dari tanggung jawab mendukung Trump dan menyatakan bahwa Trump adalah pemimpin lemah yang kalah; prinsip-prinsip partai tersebut tetap terjaga.

Tapi interpretasi yang lebih masuk akal adalah campuran beracun antara polarisasi dan sikap partisan berlebih di Amerika sudah mencapai tingkat yang baru. Karena sudah hampa, paling tidak satu partai utama di AS tidak lagi memenuhi fungsi dasarnya dalam demokrasi.

Memenuhi fungsi tersebut mengharuskan partai-partai untuk tidak hanya menawarkan pilihan kepada pemilih dalam pemilu, tapi juga menentukan cara persaingan politik dilakukan. Dengan memfokuskan diri untuk memenangkan dukungan dari suatu kelompok, partai-partai membatasi diri mereka: dan dengan fokus pada perpecahan politik dibandingkan isu lainnya, partai-partai bisa membentuk koalisi yang mungkin terlihat cukup berbeda kalau isu yang ditekankan adalah berbagai masalah penting lainnya.

Tujuan utama demokrasi bukanlah mencapai kesepakatan dalam semua permasalahan, tapi untuk mengelola kepentingan-kepentingan dan komitmen yang saling bertentangan. Demokrasi bisa ambruk kalau partai-partai atau politisi saling menjelek-jelekkan atau menolak legitimasi calon lain. Taktik semacam itu sudah menjadi kekhasan dari kelompok populis sayap kanan, yang menabuh genderang perang budaya untuk menjadikan semua konflik politik menjadi masalah identitas. Oleh karena itu, bukannya menanggapi argumentasi dari lawannya, Trump hanya mencemooh semua lawan dan pengkritiknya dengan sebutan “anti-Amerika.”

Sebagai ilmuwan politik, Jacob S. Hacker dan Paul Person sudah menunjukkan bahwa kecenderungan Partai Republik mengobarkan perang budaya disebabkan oleh kenyataan bahwa agenda kebijakan ekonomi partai ini tidak populer. Karena sudah meringankan pajak bagi kelompok kaya dan benar-benar gagal dalam menangani COVID-19, Trump dan partainya perlu mengalihkan perhatian calon pemilih potensialnya dari hal-hal yang bersifat materi.

Secure your copy of PS Quarterly: Age of Extremes
PS_Quarterly_Q2-24_1333x1000_No-Text

Secure your copy of PS Quarterly: Age of Extremes

The newest issue of our magazine, PS Quarterly: Age of Extremes, is here. To gain digital access to all of the magazine’s content, and receive your print copy, subscribe to PS Premium now.

Subscribe Now

Menurut Hacker dan Pierson, “populisme plutokratis” ini disebabkan oleh ketidakmampuan Partai Republik dalam membuat ide-ide kebijakan yang baru. Anggota dan simpatisan Partai Republik semakin giat melakukan pemotongan pajak dan deregulasi yang asal-asalan sambil membuktikan bahwa mereka tidak mampu menawarkan alternatif yang masuk akal terhadap Undang-Undang Layanan Kesehatan yang Terjangkau (Obamacare), yang terus menerus akan segera mereka ganti dengan “sesuatu yang hebat.”

Sama seperti tindakan Partai Republik yang menyerahkan identitas mereka kepada para “pejuang budaya” pada jaringan televisi dan situs web sayap kanan, partai ini juga sudah menyerahkan tugas intelektualnya kepada think tank (pusat studi) dan lembaga-lembaga yang sebagian besar lebih memikirkan kepentingan para penyumbangnya daripada membuat usulan kebijakan yang secara umum populer dan efektif.

Tentu saja ini bukan hanya masalah di AS. Di negara-negara Barat, partai-partai tradisional sedang menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh partai-partai baru yang cenderung tidak melakukan perdebatan internal yang serius, apalagi mendorong pengambilan keputusan yang demokratis. Di Belanda, partai populis sayap kanan Geert Wilders hanya memiliki dua anggota resmi; Wilders dan satu yayasan yang hanya memiliki satu anggota. Begitu juga di Inggris, Partai Brexit mengatakan bahwa partai tersebut memiliki 110.000 “pendukung yang membayar iuran,” tapi partai ini sebenarnya adalah sebuah perusahaan terbatas dengan empat pejabat dan hanya satu “anggota dengan kekuasaan yang besar”: pendukung Brexit dan pemecah-belah yang terkenal, Nigel Farage.

Pastinya, partai politik bukanlah kelompok debat. Tapi mereka seharusnya menghasilkan ide-ide baru dan rencana kebijakan, yang sangat sulit dilakukan oleh satu orang atau sebuah perusahaan keluarga. Walaupun sebuah partai perlu memiliki prinsip-prinsip tertentu yang dipegang oleh para anggotanya, menentukan prinsip apa yang akan dipegang akan menimbulkan pro-kontra dan menjunjung prinsip tersebut tidak akan bisa terjadi secara otomatis.

Presiden AS Lyndon Johnson pernah mengatakan, “Apa yang diinginkan orang di jalanan bukanlah perdebatan mengenai permasalahan yang mendasar; dia hanya ingin layanan kesehatan, karpet di lantainya, dan foto keluarga di dinding rumahnya.” Tapi Partai Demokrat yang mengusung Johnson akhirnya sadar, bahwa “layanan kesehatan” bisa menjadi permasalahan mendasar.

Permasalahan seperti itu sebaiknya tidak hanya diselesaikan dengan partai lawan, tapi juga dengan perdebatan internal yang terbuka dan plural. Jika pertentangan diselesaikan dengan cara ini, pihak yang kalah akan lebih mudah menerima kekalahan dan tetap setia kepada partai. Sebaliknya, aklamasi masal seperti yang diselenggarakan oleh Partai Republik kepada Trump justru sering membuat sebagian anggota partai keluar dari partai ini.

Ciri utama dari partai yang baik adalah kemampuannya menarik orang-orang dengan komitmen kepartaian yang stabil dari waktu ke waktu. Paradoksnya adalah partai yang mempersilahkan anggota-anggotanya memberikan kritik tanpa dianggap sebagai penghianat pada akhirnya mendapatkan kesetiaan yang lebih kuat.

Intinya bukanlah untuk mengagungkan demokrasi partisipatif di dalam partai. Tapi ada alasan mengapa konstitusi seperti di Jerman, Spanyol, dan Portugal mendorong pluralisme di dalam partai. Dengan membiasakan masyarakat melakukan perdebatan demokratis dan memaksa mereka berpikir bahwa pihak lain juga memiliki pendapat yang valid, sistem ini akan mewujudkan apa yang sudah hilang dalam zaman polarisasi ini.            

Partai yang otoriter secara internal cenderung memerintah dengan cara yang sama. Sistem partai politik yang berfungsi semestinya saja tidaklah cukup bagi demokrasi, tapi hal ini penting. Walaupun negara tidak dapat mewajibkan partai-partai mengadakan perdebatan internal yang penuh semangat, hukum bisa dan perlu mengatur pluralisme dan akuntabilitas internal. Perusahaan terbatas dan perusahaan keluarga punya kedudukannya di masyarakat; tapi bukan untuk membuat kebijakan publik.                                        

https://prosyn.org/vFcy5APid