wario1_LUIS TATOAFP via Getty Images_pastoral north kenya community climate change LUIS TATO/AFP via Getty Images

Menjadikan Energi Ramah Lingkungan Ramah bagi Masyarakat Penggembala

MARSABIT – Masyarakat penggembala bergantung pada lahan. Di Kenya bagian Utara, tempat Saya dibesarkan, kami membiakkan hewan ternak, yang digembalakan di padang rumput kering. Tapi lahan lebih dari sekedar penopang mata pencaharian kami; hal ini juga mendasari budaya dan identitas kami. Seperti bunyi dari pepatah lokal kami, “Lahan adalah tempat tali pusar kami dikubur.” Jika tali tersebut dipotong – yaitu ketika masyarakat kami tidak memiliki lahan – maka sejarah menunjukkan kami tidak mampu bertahan hidup.

Instansi-instansi di Kenya, mulai dari sekolah hingga pemerintah, mempunyai pendapat yang berbeda. Sekolah-sekolah mengajarkan bahwa masyarakat penggembala tinggal di lahan gersang yang kosong dan tidak produktif, dan bahwa pendekatan yang mereka gunakan untuk berternak sudah ketinggalan jaman dan merusak lingkungan. Kebijakan pemerintah bertujuan untuk memaksa masyarakat penggembala meninggalkan sistem berternak mereka, dan beralih ke sistem pertanian yang lebih “maju” atau “modern” seperti budi daya, yang menurut pendapat yang ada saat ini, lebih produktif dan berkelanjutan.      

Baru ketika Saya melakukan studi pasca-sarjana, Saya menemukan bukti kredibel yang menunjukkan sebaliknya. Ternyata masyarakat Saya di Kenya bagian Utara benar: praktik menggembala hewan cocok untuk dilakukan di kondisi lahan kering, dan menggembala adalah pilihan penggunaan lahan yang layak dan bisa memanfaatkan sumber daya yang tersebar secara berkelanjutan.

Sayangnya, Saya juga belajar bahwa prasangka terhadap sistem penggembalaan sangat luas. Dan logika yang salah yang mendasari prasangka ini terus mempengaruhi kebijakan penggunaan lahan, termasuk keputusan untuk memperbolehkan padang rumput untuk diakuisisi untuk proyek-proyek energi ramah lingkungan.

Mudah untuk melihat alasan produsen energi ramah lingkungan ingin mengakuisisi padang rumput, yang secara keliru mereka sebut sebagai “lahan yang tidak digunakan.” Karena padang rumput adalah wilayah yang cukup datar dan cenderung mendapatkan banyak sinar matahari dan angin yang kuat, maka wilayah ini ideal untuk proyek-proyek energi surya dan bayu yang terjangkau – dan menguntungkan.  

Jarangnya penduduk di padang rumput juga sangat membantu. Meskipun penduduk lokal menolak pembangunan ladang surya dan angin, masyarakat penggembala mempunyai kapasitas yang lebih rendah untuk menentang pihak berwenang dibandingkan dengan penduduk perkotaan yang lebih kaya dan berjumlah lebih banyak.

BLACK FRIDAY SALE: Subscribe for as little as $34.99
BF2024-Onsite-1333x1000

BLACK FRIDAY SALE: Subscribe for as little as $34.99

Subscribe now to gain access to insights and analyses from the world’s leading thinkers – starting at just $34.99 for your first year.

Subscribe Now

Kemampuan masyarakat penggembala untuk membela kepentingan mereka semakin berkurang karena sering tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan. Di Kenya, India, Maroko, dan Norwegia, proyek-proyek energi ramah lingkungan berskala besar dibangun di lahan yang dulunya digunakan oleh penggembala, tanpa konsultasi yang mencukupi dengan masyarakat penggembala dan dengan tidak memperhatikan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC) yang diterapkan pada perjanjian-perjanjian hak asasi manusia global.  

Berdasarkan prinsip-prinsip FPIC, masyarakat adat dan penggembala mempunyai hak untuk memberikan atau tidak memberikan izin bagi proyek yang bisa berdampak pada mereka dan lahan mereka. Tapi masyarakat penggembala yang tradisional biasanya tidak mempunyai hak hukum atas lahan tempat mereka menggembala, yang seharusnya dimiliki oleh negara dan “dipercayakan” kepada warganya.

Tapi negara sering kali memilih untuk tidak menghormati hak lahan tradisional, meskipun hal ini berarti melanggar perjanjian internasional. Jadi, ketika ladang surya dibangun, masyarakat penggembala kehilangan akses mereka atas lahan untuk menggembala. Ladang angin tidak terlalu berdampak pada penggembalaan, tapi sering kali dianggap oleh masyarakat penggembala sebagai pelanggaran terhadap hak atas lahan dan adat mereka. Faktanya, seperti rekan Saya Ann Waters-Bayer dan Saya tunjukkan pada studi baru-baru ini, proyek-proyek energi ramah lingkungan telah berdampak pada perampasan lahan dan energi, gangguan dalam rute migrasi ternak, gangguan budaya penggembalaan, dan berkurangnya ketahanan sistem penggunaan lahan untuk menggembala.  

Masyarakat penggembala sudah berupaya untuk menolak – terkadang dengan menggunakan kekerasan, terkadang melalui jalur hukum. Di dua kasus – satu di Kenya, dan satu lagi di Norwegia – pengadilan memutuskan bahwa proses akuisisi lahan tersebut ilegal. Tapi, dalam kedua kasus tersebut, ladang angin masih beroperasi, dan hal ini menunjukkan perjuangan sulit yang dihadapi oleh masyarakat penggembala untuk melindungi lahan, budaya dan mata pencaharian mereka.     

Ada model-model yang lebih baik untuk mengelola lahan yang merupakan tempat masyarakat penggembala bergantung. Di Mongolia, konsultasi efektif dengan masyarakat lokal berarti kekhawatiran dari masyarakat mengenai ladang surya dipertimbangkan dalam perancangan proyek, dan para penggembala tetap punya akses penuh terhadap lahan tersebut yang sudah dibangun lahan angin dan jaringan listrik. Oleh karena itu, sistem penggembalaan tidak terganggu sama sekali. Di Kanada, Kenya dan Meksiko, terdapat proyek-proyek energi ramah lingkungan yang memberikan manfaat pada masyarakat lokal melalui skema pembagian keuntungan.        

Model-model ini bisa diterapkan secepat mungkin, karena dunia menghadapi peningkatan “perampasan lahan” untuk ekspansi energi. Perang Ukraina berkontribusi terhadap peningkatan harga energi global dan menyebabkan beberapa negara Eropa kelabakan mencari alternatif dari minyak dan gas dari Rusia. Selain itu, dengan adanya tekanan untuk membuat kemajuan dalam mencapai emisi net-zero, maka terdapat semakin besar insentif untuk mengembangkan produksi energi ramah lingkungan. “Lahan kosong” yang mendapatkan banyak cahaya, angin yang kuat dan berada di daerah tropis dan sub-tropis yang kering sangat menarik sekali secara komersial.  

Tentunya ekspansi energi ramah lingkungan adalah hal yang sangat penting. Proyek-proyek energi ramah lingkungan bisa meningkatkan kesejahteraan hewan, seperti memberikan tempat berteduh. Permasalahannya ada di proses desain: developer harus menerapkan pendekatan penggunaan lahan multifungsi yang mengintegrasikan pertanian, peternakan, perlindungan keanekaragaman hayati, aktivitas sosial dan ekonomi di desa, dan produksi energi.  

Satu-satunya cara untuk mencapai hal ini adalah melalui proses yang transparan, inklusif, dan partisipatif dengan masyarakat penggembala memainkan peran yang penting. Penegakan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang lebih kuat seperti FPIC dan sistem hukum yang lebih kuat yang mengakui hak atas lahan bersama harus menjadi komponen penting dari proyek-proyek energi.

Jika kita tidak melakukan hal-hal tersebut, maka akan semakin banyak masyarakat penggembala yang akan kehilangan lahan mereka kepada perusahaan energi ramah lingkungan besar, dan hal ini akan meningkatkan kemiskinan, migrasi, keputusasaan, dan konflik. Dan hal-hal tersebut merupakan puncak dari ketidakadilan iklim.                            

https://prosyn.org/pyxmaCiid