BERLIN – Hanya beberapa minggu setelah kasus COVID-19 mulai muncul di luar Tiongkok, Korea Selatan meluncurkan sebuah sistem untuk menyiarkan profil dan pergerakan dari orang-orang yang tertular penyakit ini. Negara-negara di Asia dan Eropa lainnya lalu dengan cepat mengembangkan sistem “pelacakan dan penelusuran” masing-masing dengan berbagai tingkat kesuksesan dan kekhawatiran akan permasalahan etikanya.
Momentum yang besar ini bisa dimengerti: kalau sudah ada sistem yang bisa menyelamatkan ribuan nyawa, kenapa negara tidak menggunakannya? Tapi dalam ketergesa-gesaanan melawan pandemi ini, masyarakat tidak begitu memperhatikan bagaimana skema tersebut bisa diterapkan dalam waktu singkat, dan apa yang berikutnya akan terjadi.
Rezim pelacakan dan penelusuran Korea Selatan sudah menyebabkan banyak perdebatan. Pada awalnya perdebatan ini disebabkan karena sistem ini melanggar etika dengan mengirimkan pesan yang berisi pergerakan dari orang-orang yang tertular COVID-19 ke masyarakat setempat, menunjukkan, misalnya saja, kunjungan ke tempat karaoke, hotel “cinta” dan klub malam gay.
Tapi sistem di Korea Selatan juga berbeda dari yang lain karena menghubungkan data lokasi ponsel dengan riwayat perjalanan, data kesehatan, rekaman dari kamera CCTV yang dioperasikan kepolisian, serta data dari puluhan perusahaan kartu kredit. Informasi ini kemudian dianalisis oleh sebuah clearinghouse data yang pada awalnya dikembangkan untuk smart cities di negara tersebut. Dengan menghapuskan hambatan persetujuan birokratis, sistem ini diketahui mengurangi waktu yang diperlukan untuk melakukan penelusuran kontak dari satu hari menjadi sepuluh menit.
Aktivis privasi dan keamanan sudah bertahun-tahun memperingatkan mengenai keterhubungan sumber data pribadi dan publik yang berbeda. Tapi pandemi ini untuk pertama kalinya menunjukkan betapa cepatnya kumpulan data tersebut disentralisasi dan dihubungkan berdasarkan permintaan – tidak hanya di Korea Selatan, tapi juga di seluruh dunia.
Fakta yang tidak mengenakan adalah kita sudah lama membangun infrastruktur pengumpulan data yang bersifat pribadi dalam skala global. Penulis Shoshana Zuboff melacak lahirnya “kapitalisme pengawasan” pada perluasan wewenang keamanan negara setelah serangan teroris 11 September 2001 di AS.
At a time when democracy is under threat, there is an urgent need for incisive, informed analysis of the issues and questions driving the news – just what PS has always provided. Subscribe now and save $50 on a new subscription.
Subscribe Now
Model bisnis yang didorong oleh data merupakan elemen utama dari infrastruktur ini: ponsel pintar, sensor, kamera, uang elektronik, biometri, dan machine learning. Kenyamanan dan efisiensi dari infrastruktur ini – janji bahwa mereka bisa memberikan lebih banyak hal dengan lebih mudah – sudah merebut hati pengguna dan perusahaan. Tapi adopsi teknologi digital yang cepat dan bersemangat menyebabkan kita tidak punya waktu dan alasan untuk berpikir mengenai dampak dari hal ini.
Meskipun media sering menyebut inisiatif teknologi yang berhubungan dengan pandemi ini sebagai hal yang “canggih” tapi tidak banyak hal baru dari inisiatif tersebut – mungkin pengecualian dari hal ini adalah semakin dikenalnya inisiatif ini. Melacak pergerakan manusia pada tingkat perorangan dan global adalah inti dari banyak perusahaan ternama. Laporan mobilitas COVID-19 dari Google, misalnya, menampilkan sangat banyak data dari pengguna pada tingkat kota hingga negara – menunjukkan siapa yang berada di rumah, pergi kerja, dan perubahan pola-pola pergerakan selama lockdown.
Hal yang sama juga terjadi pada data pembelian dan perilaku kita sebagai perorangan dan kelompok. Penelusuran pola-pola perilaku perorangan dalam skala besar sangat penting bagi automasi sehingga lockdown yang disebabkan oleh pandemi yang melibatkan lebih dari empat miliar orang telah membuat bingung model kecerdasan buatan (AI) dan machine learning, sehingga mengganggu algoritma pendeteksi penipuan dan memberikan informasi yang salah pada sistem manajemen rantai pasok.
Data perilaku (behavioral data) yang tiba-tiba dikenal masyarakat bisa menimbulkan kesadaran masyarakat. Apalagi setelah Edward Snowden membuat masyarakat sadar bahwa percakapan lewat Skype dan surel dimonitor demi kepentingan anti-terorisme, dan skandal Cambridge Analytica di Inggirs menunjukkan penjualan dan penggunaan data pribadi untuk melakukan penargetan secara mikro untuk kepentingan politik.
Krisis COVID-19 seharusnya menunjukkan bagaimana data perilaku menunjukkan apa yang kita lakukan di setiap saat, dan mengapa ini adalah hal yang penting. Sebaliknya, kita menerima teknologi ini karena kita menganggap mereka penting – setidaknya pada saat krisis ini – dan bertujuan untuk kebaikan bersama (kita bahkan mengabaikan pertanyaan mengenai efektivitas teknologi ini).
Tapi seiring dengan semakin tidak jelasnya batasan antara kesehatan perorangan dan masyarakat, kita mungkin punya pendapat yang berbeda sehubungan dengan pertukaran yang ada. Kita mungkin menjadi kurang toleran terhadap pelacakan perilaku kalau pilihan gaya hidup perorangan selalu diawasi demi kebaikan bersama. Teknologi-teknologi yang berpotensi membantu kita menjalani masa depan pascapandemi, mulai dari alat pengawasan tempat kerja hingga paspor kesehatan digital permanen, mungkin akan benar-benar menguji sistem nilai kita. Hal ini bisa menimbulkan perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan politik mengenai kapan teknologi harus digunakan.
Mudah untuk menganalisis seluruh perdebatan pengawasan dan privasi ini. Tapi ini bukan satu-satunya permasalahan penting yang ada. Mengumpulkan data perilaku pribadi dalam skala besar tidak hanya memberikan manfaat pada perusahaan-perusahaan besar tapi juga memungkinkan pemodelan prediktif, sistem peringatan dini, dan sistem penegakan dan pengendalian di tingkat nasional dan global. Selain itu, masa depan sepertinya akan dipengaruhi oleh krisis, mulai dari bencana alam hingga kelaparan dan pandemi. Dan teknologi digital, data perilaku manusia, dan pengambilan keputusan dengan algoritma akan memainkan peranan yang semakin penting dalam memperkirakan, memitigasi, dan mengelola bencana-bencana tersebut.
Oleh karena itu masyarakat akan dihadapkan pada pertanyaan sulit mengenai cara mengatasi tantangan yang melampaui kebebasan sipil dan bias-bias yang berbahaya, diskriminasi, dan ketidakadilan yang ditunjukkan oleh teknologi yang mengumpulkan data. Kita harus memutuskan siapa pemilik pengetahuan mengenai data perilaku dan cara hal ini digunakan untuk kepentingan umum. Dan kita juga harus menyadari siapa yang mengambil keputusan atas dasar data ini, dan gagasan politik apa yang memotivasi mereka, karena mereka akan mempunyai kekuatan yang bisa memberikan dampak yang luas pada hidup kita.
Ketika kita semakin mengandalkan big data untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar, pertanyaan utama yang kita hadapi bukan apa yang harus kita lakukan sehubungan dengan hal ini, melainkan apa yang kita rela untuk lakukan. Jika kita tidak menanyakan pertanyaan tersebut, maka pihak lain yang akan memutuskan jawabannya.
To have unlimited access to our content including in-depth commentaries, book reviews, exclusive interviews, PS OnPoint and PS The Big Picture, please subscribe
At the end of a year of domestic and international upheaval, Project Syndicate commentators share their favorite books from the past 12 months. Covering a wide array of genres and disciplines, this year’s picks provide fresh perspectives on the defining challenges of our time and how to confront them.
ask Project Syndicate contributors to select the books that resonated with them the most over the past year.
BERLIN – Hanya beberapa minggu setelah kasus COVID-19 mulai muncul di luar Tiongkok, Korea Selatan meluncurkan sebuah sistem untuk menyiarkan profil dan pergerakan dari orang-orang yang tertular penyakit ini. Negara-negara di Asia dan Eropa lainnya lalu dengan cepat mengembangkan sistem “pelacakan dan penelusuran” masing-masing dengan berbagai tingkat kesuksesan dan kekhawatiran akan permasalahan etikanya.
Momentum yang besar ini bisa dimengerti: kalau sudah ada sistem yang bisa menyelamatkan ribuan nyawa, kenapa negara tidak menggunakannya? Tapi dalam ketergesa-gesaanan melawan pandemi ini, masyarakat tidak begitu memperhatikan bagaimana skema tersebut bisa diterapkan dalam waktu singkat, dan apa yang berikutnya akan terjadi.
Rezim pelacakan dan penelusuran Korea Selatan sudah menyebabkan banyak perdebatan. Pada awalnya perdebatan ini disebabkan karena sistem ini melanggar etika dengan mengirimkan pesan yang berisi pergerakan dari orang-orang yang tertular COVID-19 ke masyarakat setempat, menunjukkan, misalnya saja, kunjungan ke tempat karaoke, hotel “cinta” dan klub malam gay.
Tapi sistem di Korea Selatan juga berbeda dari yang lain karena menghubungkan data lokasi ponsel dengan riwayat perjalanan, data kesehatan, rekaman dari kamera CCTV yang dioperasikan kepolisian, serta data dari puluhan perusahaan kartu kredit. Informasi ini kemudian dianalisis oleh sebuah clearinghouse data yang pada awalnya dikembangkan untuk smart cities di negara tersebut. Dengan menghapuskan hambatan persetujuan birokratis, sistem ini diketahui mengurangi waktu yang diperlukan untuk melakukan penelusuran kontak dari satu hari menjadi sepuluh menit.
Aktivis privasi dan keamanan sudah bertahun-tahun memperingatkan mengenai keterhubungan sumber data pribadi dan publik yang berbeda. Tapi pandemi ini untuk pertama kalinya menunjukkan betapa cepatnya kumpulan data tersebut disentralisasi dan dihubungkan berdasarkan permintaan – tidak hanya di Korea Selatan, tapi juga di seluruh dunia.
Fakta yang tidak mengenakan adalah kita sudah lama membangun infrastruktur pengumpulan data yang bersifat pribadi dalam skala global. Penulis Shoshana Zuboff melacak lahirnya “kapitalisme pengawasan” pada perluasan wewenang keamanan negara setelah serangan teroris 11 September 2001 di AS.
HOLIDAY SALE: PS for less than $0.7 per week
At a time when democracy is under threat, there is an urgent need for incisive, informed analysis of the issues and questions driving the news – just what PS has always provided. Subscribe now and save $50 on a new subscription.
Subscribe Now
Model bisnis yang didorong oleh data merupakan elemen utama dari infrastruktur ini: ponsel pintar, sensor, kamera, uang elektronik, biometri, dan machine learning. Kenyamanan dan efisiensi dari infrastruktur ini – janji bahwa mereka bisa memberikan lebih banyak hal dengan lebih mudah – sudah merebut hati pengguna dan perusahaan. Tapi adopsi teknologi digital yang cepat dan bersemangat menyebabkan kita tidak punya waktu dan alasan untuk berpikir mengenai dampak dari hal ini.
Meskipun media sering menyebut inisiatif teknologi yang berhubungan dengan pandemi ini sebagai hal yang “canggih” tapi tidak banyak hal baru dari inisiatif tersebut – mungkin pengecualian dari hal ini adalah semakin dikenalnya inisiatif ini. Melacak pergerakan manusia pada tingkat perorangan dan global adalah inti dari banyak perusahaan ternama. Laporan mobilitas COVID-19 dari Google, misalnya, menampilkan sangat banyak data dari pengguna pada tingkat kota hingga negara – menunjukkan siapa yang berada di rumah, pergi kerja, dan perubahan pola-pola pergerakan selama lockdown.
Hal yang sama juga terjadi pada data pembelian dan perilaku kita sebagai perorangan dan kelompok. Penelusuran pola-pola perilaku perorangan dalam skala besar sangat penting bagi automasi sehingga lockdown yang disebabkan oleh pandemi yang melibatkan lebih dari empat miliar orang telah membuat bingung model kecerdasan buatan (AI) dan machine learning, sehingga mengganggu algoritma pendeteksi penipuan dan memberikan informasi yang salah pada sistem manajemen rantai pasok.
Data perilaku (behavioral data) yang tiba-tiba dikenal masyarakat bisa menimbulkan kesadaran masyarakat. Apalagi setelah Edward Snowden membuat masyarakat sadar bahwa percakapan lewat Skype dan surel dimonitor demi kepentingan anti-terorisme, dan skandal Cambridge Analytica di Inggirs menunjukkan penjualan dan penggunaan data pribadi untuk melakukan penargetan secara mikro untuk kepentingan politik.
Krisis COVID-19 seharusnya menunjukkan bagaimana data perilaku menunjukkan apa yang kita lakukan di setiap saat, dan mengapa ini adalah hal yang penting. Sebaliknya, kita menerima teknologi ini karena kita menganggap mereka penting – setidaknya pada saat krisis ini – dan bertujuan untuk kebaikan bersama (kita bahkan mengabaikan pertanyaan mengenai efektivitas teknologi ini).
Tapi seiring dengan semakin tidak jelasnya batasan antara kesehatan perorangan dan masyarakat, kita mungkin punya pendapat yang berbeda sehubungan dengan pertukaran yang ada. Kita mungkin menjadi kurang toleran terhadap pelacakan perilaku kalau pilihan gaya hidup perorangan selalu diawasi demi kebaikan bersama. Teknologi-teknologi yang berpotensi membantu kita menjalani masa depan pascapandemi, mulai dari alat pengawasan tempat kerja hingga paspor kesehatan digital permanen, mungkin akan benar-benar menguji sistem nilai kita. Hal ini bisa menimbulkan perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan politik mengenai kapan teknologi harus digunakan.
Mudah untuk menganalisis seluruh perdebatan pengawasan dan privasi ini. Tapi ini bukan satu-satunya permasalahan penting yang ada. Mengumpulkan data perilaku pribadi dalam skala besar tidak hanya memberikan manfaat pada perusahaan-perusahaan besar tapi juga memungkinkan pemodelan prediktif, sistem peringatan dini, dan sistem penegakan dan pengendalian di tingkat nasional dan global. Selain itu, masa depan sepertinya akan dipengaruhi oleh krisis, mulai dari bencana alam hingga kelaparan dan pandemi. Dan teknologi digital, data perilaku manusia, dan pengambilan keputusan dengan algoritma akan memainkan peranan yang semakin penting dalam memperkirakan, memitigasi, dan mengelola bencana-bencana tersebut.
Oleh karena itu masyarakat akan dihadapkan pada pertanyaan sulit mengenai cara mengatasi tantangan yang melampaui kebebasan sipil dan bias-bias yang berbahaya, diskriminasi, dan ketidakadilan yang ditunjukkan oleh teknologi yang mengumpulkan data. Kita harus memutuskan siapa pemilik pengetahuan mengenai data perilaku dan cara hal ini digunakan untuk kepentingan umum. Dan kita juga harus menyadari siapa yang mengambil keputusan atas dasar data ini, dan gagasan politik apa yang memotivasi mereka, karena mereka akan mempunyai kekuatan yang bisa memberikan dampak yang luas pada hidup kita.
Ketika kita semakin mengandalkan big data untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar, pertanyaan utama yang kita hadapi bukan apa yang harus kita lakukan sehubungan dengan hal ini, melainkan apa yang kita rela untuk lakukan. Jika kita tidak menanyakan pertanyaan tersebut, maka pihak lain yang akan memutuskan jawabannya.