msantos1_CARL DE SOUZAAFP via Getty Images_amazondeforestation Carl de Souza/AFP via Getty Images

Net Zero Tidaklah Cukup

RIO DE JANEIRO/BERLIN – Tampaknya negara-negara di dunia mulai menganggap serius krisis iklim, terlihat dari jumlah negara yang berjanji untuk mencapai “emisi net zero.” Di antara negara-negara penghasil emisi terbesar, baik Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah berjanji untuk mencapai tujuan ini pada tahun 2050, sementara Tiongkok menetapkan tujuan untuk menjadi netral karbon sebelum tahun 2060. Bahkan Shell dan BP, yang merupakan perusahaan-perusahaan minyak raksasa, berencana untuk mencapai emisi net-zero pada pertengahan abad ini.                            

Perusahaan-perusahaan teknologi besar tampaknya lebih ambisius lagi. Amazon berkomitmen untuk mencapai emisi karbon dioksida net-zero pada tahun 2040. Microsoft berjanji menjadi “negatif karbon” pada tahun 2030, dan pada tahun 2050 bertujuan untuk menghilangkan seluruh CO2 yang perusahaan tersebut hasilkan sejak berdiri pada tahun 1975. Google menyatakan bahwa mereka sudah menjadi netral karbon sejak tahun 2007, dan bertujuan untuk menjadi “bebas karbon” pada tahun 2030. Nyatanya, komitmen net-zero sudah dinyatakan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam perekonomian, termasuk industri daging dan susu, penerbangan, pertambangan, keuangan, dan retail.            

Tapi tujuan yang sepertinya ambisius ini nyatanya hanya merupakan sebuah greenwashing dan distraksi berbahaya yang hanya akan menghambat dan mencegah adopsi solusi-solusi iklim yang sebenarnya. Hal ini karena net zero bukan betul-betul nol emisi.

Sebagai permulaan, tahun 2050 akan terjadi hampir tiga dekade lagi. Membuat janji net-zero jangka panjang memungkinkan pemerintah dan dunia usaha menghindari pengurangan emisi secara signifikan pada saat ini. Dari perspektif keadilan iklim, menetapkan target pada pertengahan abad ini sudah terlambat. Negara-negara industri kaya di Utara, karena sejarah emisi yang dihasilkan dan tingkat kekayaan yang dimiliki, bertanggung jawab untuk melakukan dekarbonasi jauh lebih cepat.        

Dan yang memperparah masalah, banyak rencana net-zero tidak didukung dengan target pengurangan emisi jangka pendek dan interim, misalnya target untuk tahun 2025. Sebaliknya, sebagian besar kontribusi yang ditetapkan secara nasional yang merupakan bagian dari perjanjian iklim Paris tahun 2015, yang baru-baru ini diperbarui dan ditinjau, berdasarkan pada kerangka waktu tahun 2030. Hal ini mengabaikan siklus tinjauan lima tahun yang merupakan inti dari perjanjian Paris.     

Yang lebih buruk lagi, janji iklim yang menggunakan kata “net” menunjukkan bahwa emisi tidak akan berkurang menjadi nol. Sebaliknya, emisi yang dikeluarkan seharusnya akan diimbangi – dengan cara yang tidak jelas dan bisa diperdebatkan – dengan menghilangkan CO2 dari atmosfer.             

Introductory Offer: Save 30% on PS Digital
PS_Digital_1333x1000_Intro-Offer1

Introductory Offer: Save 30% on PS Digital

Access every new PS commentary, our entire On Point suite of subscriber-exclusive content – including Longer Reads, Insider Interviews, Big Picture/Big Question, and Say More – and the full PS archive.

Subscribe Now

Banyak skema net-zero terlalu bergantung pada ekosistem alami untuk menghilangkan dan menyimpan CO2 di atmosfer. Hal ini sudah menimbulkan kehebohan mengenai solusi-solusi yang berbasis alam. Meskipun mengembalikan ekosistem alami adalah hal yang penting dalam mengatasi krisis iklim dan keanekaragaman hayati, hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk melanggengkan industri yang menghasilkan banyak polusi. Tapi solusi-solusi berbasis alam juga harus mencakup proposal yang akan mentransformasikan pertanian menjadi sebuah peluang mitigasi emisi berskala besar yang dikaitkan dengan pasar karbon tanah.    

Rencana net-zero juga sering kali bergantung pada solusi berbasis teknologi untuk menghilangkan CO2 dari atmosfer yang bersifat spekulatif. Teknologi geoengineering iklim seperti bioenergi dengan penangkapan dan penyimpanan karbon (BECCS) atau penangkapan udara langsung (DAC) sangat berisiko dan belum terbukti – khususnya pada skala yang relevan dengan iklim – dan mungkin menyebabkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat dan ekosistem. Bagaimanapun, “solusi-solusi” seperti BECCS dan DAC berisiko meneruskan produksi dan pembakaran bahan bakar fosil selama beberapa dekade mendatang.

Diskusi yang ada harus kembali membicarakan solusi-solusi iklim yang nyata yang tidak dibicarakan pada konferensi tingkat tinggi negara-negara. Perdebatan ini harus berpusat pada transformasi yang komprehensif dan sudah lama tertunda atas sistem ekonomi kita yang eksploitatif dan destruktif. Mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) secara global hingga mencapai angka nol yang sebenarnya mengharuskan kita untuk mengatasi berbagai ketidakadilan historis dan global yang menyebabkan krisis iklim dan terus berkontribusi terhadap hal tersebut.          

Secara khusus, hak-hak asasi, kehidupan dan penghidupan masyarakat adat dan masyarakat lokal harus menjadi inti dari setiap solusi iklim. Hal ini berarti mendengarkan kelompok masyarakat-masyarakat adat, mempertimbangkan praktik-praktik yang mereka lakukan dan usulan dari mereka dengan serius. Memperkuat dan mengamankan hak mereka atas tanah adalah salah satu cara paling efektif untuk melindungi ekosistem, keanekaragaman hayati, dan iklim.    

Selain itu, kita juga harus menghentikan penambangan bahan bakar fosil. Tidak boleh lagi ada pengembangan lebih lanjut dari sumber daya ini, dan infrastruktur bahan bakar fosil yang sudah ada harus dihentikan penggunaannya secara bertahap sesegera mungkin, berdasarkan transisi yang adil bagi para pekerja dan masyarakat yang bergantung pada hal tersebut.  

Bergeser dari pertanian industrial juga merupakan prioritas utama. Produksi yang terlalu intensif dan destruktif sudah menguras tanah dan ekosistem serta menghasilkan jumlah emisi gas rumah kaca yang sangat besar, dan pada saat yang sama hanya memberi makan sebagian kecil dari masyarakat di dunia. Pertanian industri ini merupakan salah satu faktor pendorong utama dari deforestasi, dan kerusakan pembatas dan penyangga ekologi yang diakibatkannya mungkin berkontribusi terhadap terjadinya pandemi COVID-19.                

Sebaliknya, agroekologi menawarkan peluang-peluang baru bagi transformasi sosio-ekologi dan bisa berkontribusi untuk mengatasi perubahan iklim dengan cara yang aman. Pendekatan ini juga bisa membantu menjamin keamanan dan kedaulatan pangan dan nutrisi, serta melestarikan keanekaragaman hayati.

Konsumsi berlebihan dan eksploitasi yang didorong keuntungan atas sumber daya di dunia oleh negara-negara Utara harus dihentikan. Kita harus menyelaraskan aktivitas ekonomi kita dengan tujuan-tujuan sosial global dan keadilan iklim, sehingga mengedepankan kesejahteraan dan kepedulian dalam upaya kita untuk melindungi lingkungan.        

Janji net-zero baru-baru ini mungkin terlihat ambisius, tapi hal tersebut hanya mendorong serangkaian solusi palsu yang berkedok pelestarian lingkungan. Pemerintah dan dunia usaha harus meninggalkan strategi greenwashing mereka. Di saat genting ini, kita memerlukan kemauan politik yang nyata untuk menciptakan perubahan nyata.                            

https://prosyn.org/v5toQ4bid